Sunday, June 6, 2010

Indonesia and Public Diplomacy

Postingan ini saya buat di sela sela sesi dasar-dasar diplomasi yang dibawakan oleh Direktorat Diplomasi Publik, di Kementrian tempat saya bekerja saat ini. Topik yang sangat menarik karena pematerinya membawakan topik ini dengan sangat attractive. saya sangat menikmati topik ini, karena sebenarnya saya sudah punya beberapa pertanyaan terkait dengan diplomasi publik, yang sangat terkait dengan promosi dan pencitraan Indonesia di luar negeri.

Pemaparan pagi ini kemudian lebih berfokus kepada bagaimana, sebagai direktorat yang memang bertugas untuk melakuk
an diplomasi kepada pihak-pihak di luar Indonesia, mereka melakukan upaya dan kegiatan-kegiatan yang tujuan akhirnya adalah untuk membentuk persepsi dan citra tentang Indonesia.

Saya tergelitik untuk kemudian memperta
nyakan sampai sejauh mana peran mereka dalam memberikan pemahaman dan membentuk opini, termasuk memberikan update tentang apa yang terjadi di Indonesia kepada pelajar-pelajar yang sedang melakukan studi di luar negeri serta kepada orang-orang Indonesia yang bekerja di luar negeri. sebagai frontliner dan sumber informasi utama, mereka sudah selayaknya mendapatkan briefing tentang Indonesia, sehingga ketika media dan pemberitaan menayangkan kejadian-kejadian yang, in a way, tidak berpihak kepada Indonesia, mereka akan menjadi "diplomat" yang tau bagaimana merespon pertanyaan yang dikemukakan oleh rekan sekerja atau teman kuliah mereka. Dan dengan begitu, peran para pelajar dan pekerja Indonesia di luar negeri sebagai non state actor diplomacy akan semakin efektif.

Pertanyaan kedua yang saya ajukan terkait dengan penggunaan media film sebagai alat diplomasi yang sebenarnya belum dimanfaatkan secara baik, khususnya dalam rangka menunjukkan keindahan Indonesia yang se
sungguhnya. sekedar mengutip notes dari seorang teman di facebook yang mempertanyakan apakah film Sex and The City 2 merupakan alat promosi pemerintah Dubai (walaupun ternyata lokasi shooting film ini di Maroko) karena bisa dihitung berapa menit lamanya scene dalam film tersebut menceritakan tentang Dubai.
Back to the topic, selama ini kendala utama dari upaya diplomasi lewat media film (sesuai dengan pemaparan) adalah kendala finansial. berbicara tentang sebuah film tentunya akan berbicara masalah komersil, dan itu tentu saja berarti berapa banyak uang yang bisa dihasilkan dari investasi yang dilakukan oleh produser film atau penyandang dana film tersebut; dan kemudian terkait dengan pertanyaan apakah membuat film dengan mengeksplorasi keindahan Indonesia akan otomatis berarti menambah pundi-pundi produser film tersebut.
Selama ini banyak film-film yang berlokasi syuting di Indonesia, yang sebenarnya juga seharusnya ditujukan untuk melakukan diplomasi sekaligus promosi Indonesia, namun sayangnya belum tersentuh oleh pihak-pihak yang mampu "memasukkan" film tersebut ke pasar internasional. Denias, Pasir Berbisik, Laskar Pelangi, adalah tiga diantaranya.Sebagai pandangan pribadi saya, saya melihat bahwa film-film di atas lebih merupakan proyek idealisme dibanding upaya untuk menembus pasar internasional. Sebaliknya,kalaupun ada produser film luar negeri yang tertarik datang dan menjadikan salah satu tempat di Indonesia sebagai lokasi syuting, maka pilihannya lagi-lagi adalah Bali. Kenyataan ini tidak terlepas dari (tentu saja) karena di antara semua tempat yang menarik di Indonesia, Bali adalah satu-satunya lokasi yang menawarkan sarana dan prasarana pendukung yang paling lengkap. Mau tidak mau, hal ini juga secara ironis berarti Indonesia (sekali lagi) belum memiliki pemerataan fasilitas pendukung di tiap daerah.

Indonesia,dalam pandangan say
a, bukan cuman Bali (walaupun Bali dan Indonesia di luar negeri disandingkan sejajar). Banyak sites lain yang juga sama cantik dan eksotiknya dengan Bali ketika kita berbicara tentang pantai, ketika kita berbicara tentang budaya, ketika kita berbicara mengenai eksplorasi keindahan Indonesia, terlalu banyak tempat yang bisa kita tampilkan, seperti gambar di samping ini (Raja Ampat, Papua).

Lebih jauh lagi, ketika kita berbicara mengenai apa yang bisa kita tampilkan tentang Indonesia sebagai bahan dalam diplomasi publik
dan pembentukan citra Indonesia, satu kenyataan menarik yang saya jumpai adalah (seperti yang juga dipaparkan dalam materi pagi ini) bagaimana Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia yang di saat yang sama mengakui berbagai agama dan terdiri dari berbagai suku/etnis, dalam keberagamannya mampu menampilkan akulturasi budaya yang sangat mengagumkan. Tanpa menafikkan terjadinya konflik horisontal di beberapa wilayah di Indonesia, komunitas masyarakat yang beragam tersebut mampu hidup berdampingan dengan tingkat toleransi yang, sesuai pengalaman saya, sangat luar biasa.

Hal-hal seperti ini sangat bisa digunakan sebagai alat untuk membentuk citra Indonesia yang selama ini tidak lebih hanya dianggap sebagai negara yang penuh dengan bencana alam, demonstrasi dan kerusuhan, setidaknya itulah topik-topik yang ditayangkan lewat berita di media massa dan elektronik internasional. Kalau boleh saya istilahkan, eksplorasi keindahan dan budaya Indonesia sangat mampu berperan sebagai "kontra intelejen" dari pemberitaan "seksi" yang menganut prinsip: "good news is a bad news" itu.

Anyway, Setelah memberikan penjelasan dan tanggapan atas-pertanyaan saya di atas, pemateri menutup jawabannya dengan sebuah ajakan untuk bergabung di direktoratnya, untuk (who knows) di masa depan dapat bersama sama berupaya untuk meyakinkan produsen dan sutradara film Hollywood untuk membuat film di Indonesia.

Sungguh tawaran yang menarik, yang menutup sesi kelas pagi ini dengan sempurna ;)


@ Pusdiklat

No comments:

Post a Comment